Menjadi Seorang Mualaf

Posted by Antonius Dian Rabu, 25 Desember 2013 19 komentar

Hidayah yang Perlahan tapi Pasti. 


Hi guys... Ini posting pertama saya di blog ini. Sebenarnya saya bingung ingin menulis apa dengan bekal pengetahuan saya yang sangat pas-pasan ini (malah boleh dibilang hampir nol..hehehe). Akhirnya saya memutuskan untuk menulis pengalaman pribadi saya yang sempat membuat saya merasa berada di titik nadir kehidupan saya dan hubungan saya dengan keluarga sempat berantakan. Apa itu? Dari judulnya tentu anda-anda semua bisa menebak yaitu pengalaman saya saat memutuskan untuk menjadi mualaf. Hmm topik yang sensitif dan mungkin bisa menyinggung sebagian orang yang membaca. Makanya sebelumnya saya meminta maaf kalau ada dari tulisan saya ini yang menyinggung anda-anda yang membaca ini. Demi Allah saya tidak bermaksud seperti itu dan hanya bermaksud untuk membagi pengalaman saya barangkali bisa menjadi inspirasi bagi yang mungkin sedang memiliki masalah seperti ini atau bisa juga sekedar menjadi bacaan di waktu luang.

Oke sebelumnya kenalkan nama saya Antonius Dian Prastyo Widiutomo sebut saja Bunga... eh maaf sebut saja Anton..hehehe. Saya sekarang bekerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang IT. Dan karena pekerjaan inilah saya akhirnya pindah dari kota tercinta saya di Malang dan menetap di Jakarta. 

Tanggal 15 Maret 2008, merupakan tanggal jadian saya dengan istri saya sekarang. Awal perkenalan kami adalah melalui sms iseng dan entah kenapa bisa sampai seperti sekarang, kalau kata orang sih sudah jodoh. Istri saya yang saat itu masih kekasih saya merupakan pelajar SMK yang tinggal di kota Bandung sementara saya masih anak kuliahan yang tinggal di Malang dan setelah lulus sempat bekerja di Surabaya selama 1 tahun. Jadi singkat cerita saya dan istri saya menjalin LDR alias Long Distance Relationship alias hubungan jarak jauh. Saya cuma bisa bertemu dengannya sekitar 3-4 bulan sekali. Itu sangat menyiksa kami berdua disaat kami saling kangen tapi tidak bisa bertemu. Selain itu ada satu tembok besar yang menjadi penghalang di hubungan kami yaitu kami berbeda agama sehingga entah bisa sampai kapan kami bisa terus begini dan itu semakin menyiksa kami. Singkat cerita saya mendapat sebuah tawaran bekerja di perusahaan IT di Jakarta pada akhir 1 tahun saya bekerja di Surabaya. Tentu saja kesempatan itu tidak saya sia-siakan apalagi pemilik perusahaannya sendiri yang bersedia datang ke Surabaya untuk menyeleksi calon-calon karyawan dari Surabaya. Dan akhirnya saya diterima. Senangnyaaaa...

Setelah bekerja dan tinggal di Jakarta tentu saja saya jadi lebih banyak kesempatan bertemu kekasih saya di Bandung. Dari yang 3-4 bulan sekali sekarang jadi seminggu sekali bisa bertemu dengan kekasih saya yang sangat sangat saya sayangi dan cintai. So sweettt... Rasanya hidup jadi lebih indah meskipun tidak seromantis cerita FTV.

Semakin lama saya dan kekasih saya semakin saling mencintai dan sepertinya hanya Allah yang bisa memisahkan kami (sweet banget kan...). Akhirnya saya memiliki keinginan untuk menikahi dia meskipun saya tahu kami berbeda agama. Setelah saya bicarakan dengan kekasih saya akhirnya kami memutuskan untuk bicara terus terang dengan orang tua kami masing-masing bahwa kami ingin menikah. Soal agama itu urusan belakangan, begitu pikiran kami saat itu. Tapi tentu saja menjalankan keputusan semacam itu bukan masalah yang mudah. Sebulan setelah kami mengambi keputusan itu baru kami benar-benar punya keberanian untuk berbicara dengan orang tua kami masing-masing. Dan sangat mudah ditebak, keinginan kami ditolak oleh orang tua kami masing-masing dengan alasan tidak mungkin menjalankan sebuah rumah tangga kalau berbeda keyakinan.  Melihat penolakan tersebut akhirnya saya nekat mengambil sebuah keputusan yang bisa mengubah alur hidup saya secara keseluruhan. Saya memutuskan untuk mengalah dan akan masuk Islam demi bisa menikahi kekasih saya. Ayah saya sangat kaget mendengar keputusan itu namun akhirnya luluh juga mendengar penjelasan saya dan inilah yang membuat saya sangat bersyukur memiliki ayah dengan hati yang besar dan sangat mementingkan kebahagiaan anaknya.

Menjadi seorang mualaf... Ya itu adalah keputusan saya yang akhirnya saya jalankan dengan mengucap 2 kalimat syahadat beberapa hari kemudian. Dan saya pun resmi masuk Islam. Segera setelah itu tanggal pernikahan saya ditentukan. Bahagia? Belum.. Mengapa?  Karena saat itu saya masuk Islam demi menikahi kekasih saya. Dan karena itu saya tersiksa. Pertama karena saya harus belajar menjalani keyakinan yang selama ini sering berseberangan dengan keyakinan saya sampai-sampai di satu titik saya sempat bingung kepada siapa atau dengan cara apa saya bisa berdoa ketika saya dalam masalah bahkan lucunya saya sempat bingung dengan cara apa saya bisa melindungi diri saya dari gangguan hantu dan sebagainya karena saya tidak tahu harus berdoa dengan cara apa. Dengan cara yang lama sudah tidak mungkin karena saya sudah masuk Islam sementara dengan cara Islam saya juga tidak bisa karena saya tidak benar-benar meyakini Islam saat itu. Sekedar info, kata beberapa orang saya ini membuat makhluk-makhluk gaib tertarik dan akhirnya mengikuti saya (katanya sih tapi faktanya memang hal ini beberapa kali terbukti) maka wajar jika saya memiliki ketakutan seperti itu. Kedua, karena meskipun saya sudah direstui oleh ayah saya namun tetap saja ada beberapa penolakan dari beberapa keluarga saya yang membuat saya bersedih dan merasa dibuang oleh keluarga saya ya walaupun masih ada juga sebagian keluarga yang mendukung saya. Ketiga, saya memikirkan bagaimana tanggapan orang-orang di sekitar saya yang selama ini tahu saya beragama A (sebut saja begitu) sementara saat itu saya berpindah agama menjadi Muslim. Bagaimana pandangan mereka tentang saya. Jujur aja saya sangat malu saat itu baik kepada orang-orang dari agama A ataupun orang-orang muslim sendiri. Entah kenapa. Saat itu hidup saya penuh dengan tangisan. Hampir tiap hari saya menangis trutama saat saya sedang sendiri. Tiga masalah diatas membuat saya benar-benar berada di titik mental terendah dalam hidup saya. Sampai sering saya berdoa dengan cara saya yang lama "Tuhan jika memang ini keputusan yang salah maka aku mohon ambilah nyawa saya agar kesalahan ini tidak semakin lama saya jalani". Sebuah doa yang muncul karena ke-frustasian saya.

Setelah saya menikah dan akhirnya istri saya mengandung, saya tetap belum benar-benar meyakini Islam sebagai keyakinan yang sejati. Saya mau sholat tapi itu juga kalau ada yang mengajak namun gerakannya cuma mengikuti gerakan imam saja tanpa melafalkan bacaan shlat karena memang saya tidak pernah punya niat untuk belajar sholat dan bahkan saya belum pernah melaksanakan sholat Jumat saat itu. Sampai suatu saat kira-kira pada saat kandungan istri saya berumur 7 bulan saya terganggu dengan sebuah pemikiran saya sendiri. Kalau saya terus terombang-ambing diantara 2 agama seperti ini bagaimana dengan anak saya kelak. Bagaimana dia bisa menjalankan kehidupan religius nya kalau bapaknya yang menjadi panutannya saja masih bimbang soal agama. 

Akhirnya saya ambil sebuah keputusan. Saya akan mencoba menjalani ibadah secara Islam demi anak saya kelak. Tanpa saya sadari inilah keputusan yang menjadi titik balik dari semua permasalahan saya. Untuk pertama kalinya saya meminta seorang teman saya yang bernama Bagus Sadewa untuk mengajari saya sholat di masjid di seberang halte busway Sumber Waras Grogol. Saya meminta dia karena dia satu-satunya teman dekat saya saat itu di Jakarta. Thanks bro Bagus Sadewa. Dan beberapa hari kemudian untuk pertama kalinya saya melakukan sholat sendirian tanpa harus diajak oleh orang lain meskipun dengan bacaan yang tidak lengkap karena saya baru hafal surat Al-Fatihah. Thanks juga untuk Pak Cahya yang merupakan leader saya di kantor yang setiap hari mengimami saya sholat di kantor yang membuat saya semakin hapal gerakan sholat dan juga urutan bacaannya.

Lambat laun hidayah itu datang. Semakin sering saya bersholat ternyata semakin terasa sebuah kedamaian dan kecocokan di hati saya ini. Bahkan Allah pun sepertinya terus menerus memberikan petunjuk dan rangsangan agar saya semakin mencintai Islam. Contohnya ketika saya sedang dalam keadaan keuangan yang sulit sementara ada kebutuhan yang mendesak dan saya mencoba memohon bantuan kepada Allah ternyata jawabannya langsung datang esok harinya. Saya mendapatkan bonus dari kantor dengan nominal persis sebesar yang saya butuhkan padahal belum pernah saya mendapat bonus sebesar itu sebelumnya. Jawaban itu begitu cepat. Subhanallah... Dan begitulah sampai akhirnya anak saya lahir dan saya lantunkan adzan di telinga anak saya. Alhamdullilah ya Allah..

Demikian lah cerita saya mnegenai pengalaman nyata saya menjadi seorang mualaf. Insyaallah sekarang saya sudah benar-benar menikmati menjadi seorang muslim. Semoga pengalaman saya ini bisa menjadi pengalaman yang berguna bagi pembaca sekalian. Dan bagi anda-anda yang sedang memiliki masalah yang sama dengan tulisan saya ini maka ingatlah kalau Allah selalu memberi jalan kepada kita umatnya seperti yang telah Allah berikan kepada saya meskipun itu kelihatan mustahil sekalipun bagi manusia. Memohonlah dan percayalah bahwa Allah tahu yang terbaik buat kita.


Baca Selengkapnya ....
Cara Buat Email Di Google | Copyright of Berbagi Informasi dan Kehidupan.